Selasa, 24 Januari 2017

Istihsab

A.    Pengertian Istishab
Kata Istishab secara etimologi berasal dari kata “istashhaba” dalam sighat istif’ala (استفعال) yang bermakna استمرارالصحبة kalau kata الصحبة  diartikan dengan teman atau sahabat dan استمرار  diartikan selalu atau terus menerus, maka istishab secara lughawi artinya selalu menemani atau selalu menyertai.[1]
Secara terminologi, Imam al-Ghazali, mendefinisikan istishhab dengan: Berpegang pada dalil akal atau syara’, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah hukum yang telah ada. Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada ketentuan hukumnya dan tidak diketahui ada dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada di masa lampau itu tetap berlaku di masa sekarang sebagaimana adanya.[2]
Ibn Hazm, seorang tokoh ushul fiqh Zhahiriyyah, mendefinisikan istishhab dengan berlakunya hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash (ayat atau hadis) sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Kedua definisi ini, pada dasarnya, mengandung pengertian bahwa hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu. Singkatnya, yang disebut istishhab adalah menetapkan hukum sesuatu menurut keadaan yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang merubahnya. Dengan ungkapan lain, istishhab adalah menjadikan hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan hukum itu.[3]
Berdasarkan pengertian Istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah: Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Dan juga, segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
B.     Macam-Macam Istishab
Istishab terbagi beberapa macam, yakni[4]:
Pertama, istishab kepada hukum aqal dalam predikat ibahah (mubah) atau baraah al-ashliyah (kemurnian menurut aslinya). Misalnya:
1   Setiap makanan dan minuman yang tidak ditunjuk oleh dalil yang mengharamkannya adalah mubah. Sebab Allah menciptakan segala yang ada di muka bumi untuk dimanfaatkan oleh seluruh manusia.
Firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 29 yang artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (Al-Baqarah: 29)
Ketetapan yang demikian itu tidak dapat dibenarkan, kecuali apabila segala sesuatu itu adalah mubah, sehingga ada suatu dalil yang mengharamkannya.
2   Segala macam perikatan perjanjian yang diadakan oleh manusia untuk saling mempertukarkan harta adalah mubah selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya, mengingat bahwa segala sesuatu adalah mubah.
3   Ketetapan tidak wajib menjalankan salat 6 kali, tidak wajib menjalankan puasa bulan sya’ban adalah berdasarkan istishhab kepada hukum aqal dengan baraah al-ashliyah (bebas menurut aslinya). Karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.
Kedua, istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada dalil lain istishhab kepada hukum syara’ yang sudah ada dalilnya dan tidak ada dalil lain yang  merubahnya. Misalnya hukum yang diciptakan oleh syari’ berdasarkan sebab-sebab tertentu. Bila sebab-sebab itu diketahui dengan yakin, maka terciptalah suatu hukum dan  hukum itu terus berlaku sampai ada suatu dalil yang membatalkannya. Sebagai contoh yang kongkrit ialah apabila seorang berwudhu’, kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ia dihukumi sebagai orang yang masih keadaan berwudhu’, berdasarkan istishhab terhadap hukum suatu peristiwa yang mendahuluinya secara yakin.[5]
Istishab dibagi menjadi lima macam, yaitu[6]:
a.       Istishab hukm al-ibahah al-ashliyah
Menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
b.      Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus.
c.       Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan Istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang membatalkannya).
d.      Istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i.
e.       Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan Ijma’, tetapi keberadaan Ijma’ diperselisihkan.
Berdasarkan Istishab, beberapa prinsip Syara’ dibangun[7], yaitu :
اَلْأَصْلُ فِيْ الأَشْيَاءِ اَلاْءَبَاحَةٌ
“Asal segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)”
Contoh: Dalam firman Allah : Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. Maka bisa di ambil sebuah kesimpulan bahwa setiap apa yang ada di muka ini pada asalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. (QS. Al-Baqarah: 29)
 اَلْأَصْلُ بِرَاءَةٌ الذَ مَّةٌ
“(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan”
Contoh kaidah: Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih) melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
مَا ثُبُتُ بِالْيَقِيْنِ لَايَزُوْلُ بِالِّشَكِّ وَلَايَزُوْلُ اِلَّابِيَقِيْنِ مَثَلُهٌ 
 “Apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan salatnya sah.
 الإِجْتِهَادِ لَا يَنْقِدَ بِالْإِجْتِهَاد
“Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.”
Contoh kaidah: Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada raka’at yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat raka’at dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap raka’atnya.
 اَلْضَرُوْرَاتُ تَبِيْحَ الْمُحُظُوْرَاتٌ
“Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.”
Contoh kaidah: Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal Rahman habis dirampas oleh mereka, karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba ada seekor babi. Namun Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar menghilangkan rasa laparnya.
Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
 اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وَجُوْدَا وَعِدَّمَا
“Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaannya’illatnya.”
Contoh kaidah : Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah menjadi cuka maka halal
 مَا لَا يَتَمَ الوَاجِبَّ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka hukumnya wajib.”
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
 اَلرَخَصَةُ لَاتَنَاطَ بِالْمَعَاصِى
“Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.”
Contoh kaidah: Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.
C.     Pendapat Ulama Tentang Istishab
Ulama’ Hanafiah menetapakan bahwa Istishab merupakan hujjah untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Jadi Istishab merupakan ketetapan sesuatu yang telah ada semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaanya.[8]
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau tidak diketahui tempat tinggalnya. Istishab yang menentukan atau menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dengan kematiannya. Dalam firman Allah surat al-Jatsiyyah ayat 13 yang atrinya :Dan Ia telah memudahkan tiap-tiap yang di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya”.

D.    Kehujjahan Istishab
    Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang kehujjahan istishhab ketika tidak ada dalil syara’ yang  menjelaskan suatu kasus yang dihadapi,[9] antara lain:
1                        Munurut mayoritas Mutakallimin (ahli kalam), istishhab tidak bisa dijadikan dalil, karena hukum yang ditetapakan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil. Alasannya, mendasarkan hukum pada istishhab, merupakan penetapan hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’, karena sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain. Istishhab, menurut mereka bukan dalil.[10]
2        Menurut mayoritas ulama Hanafiyyah, khususnya Muta’akhirin istishhab bisa menjadi hujjah untuk menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum ini tetap berlaku pada masa yang akan datang, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada. Alasan mereka, seorang mujtahid dalam meneliti hukum suatu masalah yang sudah ada, mempunyai gambaran bahwa hukumnya sudah ada atau sudah dibatalkan. Akan tetapi, ia tidak mengetahui dalil yang  menyatakan bahwa hukum itu telah dibatalkan. Dalam kaitan ini, mujtahid harus berpegang pada hukum yang sudah ada, karena ia tidak mengetahui adanya dalil yang membatalkan hukum itu. Namun demikian, penetapan ini, hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Inilah yang dimaksudkan ulama Hanafiyyah dengan istilah “istishhab hujjah li al-daf’I la li al-itsbat (Istishhab menjadi hujjah dalam mempertahankan hak, bukan untuk menetapkan hak).[11]
3        Adapun ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah berpendapat bahwa, istishhab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang telah ada, selama belum ada dalil lain yang mengubahnya. Alasan mereka adalah, bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif), maka semestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Menurut mereka, suatu dugaan keras (zhann) bisa dijadikan landasan hukum. Apabila tidak demikian, maka bisa membawa akibat kepada tidak berlakunya seluruh hukum-hukum yang disyari’atkan Allah dan Rasulullah saw. bagi generasi sesudahnya.[12]

Bila dikatakan istishhab  tidak bisa menetapkan hukum, maka ada kemungkinan terjadinya naskh (pembatalan) syari’at tersebut. Hal ini akan mengakibatkan munculnya pandangan bahwa tidak bisa dipastikan berlakunya syari’at di zaman Rasulullah saw. bagi generasi sesudahnya. Oleh sebab itu, alasan yang menunjukkan berlaku syari’at di zaman Rasulullah saw. sampai hari kiamat adalah menduga keras (dzann) berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dali yang meng-naskh-kannya. Hal ini, menurut mereka disebut istishhab.[13]
Di samping itu, mereka juga beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum-hukum juz’i (rinci) yang telah disepakati oleh para ulama fiqh (ijma’) yang didasarkan kepada kaidah istishhab. Misalnya, menetapkan wudhu’ tidak batal karena adanya keraguan terhadap ketentuan wudhu’ itu; menetapkan halalnya berhubungan antara suami istri yang telah melakukan akad nikah sampai terbukti bahwa mereka telah cerai; dan menetapkan tetapnya hak miliki seseorang menjadi milikinya, selama tidak terbukti terjadinya pemindahtanganan hak milik tersebut. Hukum ini semuanya, menurut mereka, hukum ijma’ yang didasarkan atas istishhab.[14]

E.     Contoh-contoh Istishab
Berikut merupakan contoh istishab, yaitu:
Pertama : Misalnya, seseorang membeli seekor kuda pacuan yang menurut penjualnya kuda tersebut telah terlatih untuk berpacu dan telah sering ikut pacuan. Akan tetapi, setalah dibeli, ternyata kuda tersebut belum terlatih untuk berpacu dan belum pernah ikut pacuan. Dalam kasus seperti ini, hukum yang ditetapkan hakim adalah bahwa kuda tersebut memang belum terlatih untuk berpacu, kecuali ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kuda itu telah sering ikut pacuan.[15]
Kedua : Contoh lain yang sering diungkap umpamanya, Danil mengawini Nursidah secara sah. Kemudian Danil meninggalkan istrinya tersebut selama lebih kurang tujuh tahun tanpa proses perceraian. Dalam kondisi demikian, ada pria lain, yaitu Mumtaz yang berhasrat mengawini Nursidah yang menurut realitanya tidak bersuami. Perkawinan Mumtaz dengan Nursidah ini tentu tidak dapat dilangsungkan, karena ia menurut status hukumnya adalah isteri dari Mumtaz, selama tidak ada bukti bahwa Nursidah telah dicerai secara sah oleh Mumtaz. Maka tetaplah Nursidah berstatus hukum sebagai isteri bagi Ahmad seperti semula sampai ada keterangan lain yang merubahnya.  [16]
Ketiga : Contohnya ialah air pada asalnya adalah bersih dan dihukum bersih dan suci kecuali terdapat tanda-tanda yang menunjukkan air tersebut dikotori najis seperti berubah bau, warna atau pun rasa. Contoh lain ialah asal semua makanan di bumi adalah halal tetapi apabila datang ayat Al-Qur’an yang menegahnya dan mengecualikannya maka terdapat makanan yang halal dan haram untuk dimakan.



[1] Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Tp: Amzah, 2005), h. 145.
[2] Muchsin Nyak Umar, Ushul Fiqh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, cet. 1, 2008), h. 82-83.
[3] Ibid.
[4] Ibid., h. 84-85.
[5] Ibid.,
[6] Ibid,.
[7] Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, (Damaskus-Syuria: Dar Al-Fikr, cetakan kedua, 2004), h. 54-56
[8] Syafi’I Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV Pustaka Setia,cet. 1, 1999),
[9] Ibid.
[10] Ibid,. h. 85.
[11] Ibid., h. 86.
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Ibid,. h. 86-87.
[15] Ibid., h. 83.
[16] Ibid.

2 komentar:

  1. Contoh istishab yang kedua itu kok Nursyidah berstatus hukum istri mumtaz? Kn dia ga jadi nikah karna ga boleh..
    Lalu di paragraf terakhir kok tiba tiba nursyidah berstastus hukum isteri bagi ahmad..
    Lalu bagaimana denngan danil?

    BalasHapus
  2. Casino Promotions & Rewards: A Step-By-Step Guide
    For a maximum of 200% bonus, you must deposit at 김해 출장샵 least $5 and have 의정부 출장샵 at least five gaming credit card accounts to 안산 출장안마 unlock the bonus. In 충청북도 출장마사지 order to 군산 출장샵 qualify for the bonus, players need

    BalasHapus